Jumat, 11 Juli 2014

Ali bin abi thalib selalu bersama Rosulullah dalam peperangan


A. Ali di Perang Badar

Dengan melakukan Hijrah, Nabi telah membuka ufuk baru dalam sejarah manusia, secara umum dan sejarah dakwah Islam secara khusus. Hijrah adalah permulaan bentuk sebuah negara, dan semakin jelasnya kekuatan kaum Muslim. Di sisi lain, Quraisy dan kaum musyrik Madinah seperti Yahudi
dan kaum munafik yang berpura-pura menjadi Muslim, menutupi rencana rahasia mereka menghancurkan Islam dan pengikut-pengikutnya. Namun, mereka salah menebak akan sikap Nabi. Beliau menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dengan bijaksana. Tentu saja, beliau tidak
akan mungkin mengambil sikap seperti orang yang lemah di hadapan rencana busuk musuh-musuh Islam. Untuk menanggulangi hal itu, terkadang beliau mengirimkan sekelompok pasukan kecil melakukan manuver untuk menakut-nakuti mereka.
 
Letak kota Madinah sangat strategis. Madinah berada pada lalu-lintas para pedagang yang menghubungkan Jazirah Arab. Dengan semakin bertambah jumlah kaum Muslim, mereka patut diperhitungkan oleh pedagang pedagang yang mempergunakan Madinah sebagai rute perdagangannya.
 

Sejak Ali bin Abi Thalib menjejakkan kakinya di kota Madinah, dimulailah pembangunan di segala bidang yang dituntut oleh dakwah Islam. Ali selalu bersama-sama Rasulullah saw; membangun negara dan mengembangkan dakwah Islam. Tentunya, ini semua dapat dilakukannya karena inayah Allah kepadanya. Segala kekuatan yang diberikan kepadanya dimanfaatkan untuk kepentingan agama yang sulit dilakukan oleh orang lain, bahkan oleh sejumlah orang secara bersama-sama.
 
Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah baju perang pemberian Nabi. Ini menjadi sebuah petanda penting di setiap peperangan yang diikutinya. Selayaknya, setiap peperangan paling penting yang diikuti oleh sebuah negara adalah yang pertama kali dilakukan Siapa yang muncul sebagai pemenang akan menjadikan peperangan adalah keuntungan baginya. Demikian ini terjadi dalam perang Badar. 

Perang Badar dapat dikatakan sebagai awal keruntuhan segala kekuatan militer di Jazirah Arab secara
umum, dan Quraisy secara khusus. Di sisi lain, perang Badar adalah pembukaan kemenangan-kemenangan yang diraih oleh kaum Muslim.
 
Diriwayatkan bahwa kedua bersaudara Utbah dan Syaibah bin Rabiah disertai Walid bin Utbah dalam
perang Badar mewakili Quraisy untuk berduel dengan kaum Muslim. Pada awalnya, pihak kaum Muslim diwakili oleh dua bersaudara Auf dan Muتawwidz bin Afra disertai Abdullah bin Rawahah.
Ketiganya dari kaum Anshar. Ketika ditanya oleh pihak Quraisy, „ 
"Siapa kalian?" Mereka menjawab, "Kami dari kaum Anshar". Mereka kemudian berkomentar, "Kalian orang-orang mulia, sayangnya kami tidak merasa berpentingan untuk berduel dengan kalian, tidak ada gunanya. Kami ingin berduel dengan kaum kami yang setara dengan kami".
 
Mendengar tantangan itu, Nabi memerintahkan pamannya Hamzah dan Ubaidah bin Harits serta Ali untuk berduel menghadapi mereka. Mereka kemudian saling mendekat dan memulai peperangan. Ubaidah bin Harits menghadapi Utbah. Hamzah berhadapan dengan Syaibah.Sementara Ali ditantang oleh Walid. Hamzah tidak memberi kesempatan lebih lama kepada Syaibah untuk menghirup napas lebih lama. Hamzah membunuh Syaibah. Ali juga membunuh Walid. Sementara itu, Ubaidah dan Utbah telah berhasil melukai lawannya masing-masing sebanyak dua kali. 

Melihat keadaan itu, Ali dan Hamzah secepatnya mendekati Utbah dan membunuhnya.
Duel terhenti dengan kemenangan pihak Muslim. Setelah itu, peperangan kedua belah pihak tidak terelakan lagi. Peperangan antara dua kekuatan perang yang tidak seimbang. Pasukan kaum Muslim berjumlah 313 orang yang berperang dengan penuh keimanan untuk membela akidah dan melindungi kebenaran yang telah memanggil mereka ke jalannya. Pada kesempatan itu, ada faktor lain yang membantu semangat kaum Muslim.
 
Faktor tersebut adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi untuk menguatkan dan menambah keberanian kaum Muslim. Kemantapan sikap Nabi, keberanian Hamzah, kekuatan Ali dan para pahlawan kaum Muslim yang terus mendesak pasuk Quraisy. Ini semua seakan-akan membuat mereka lupa akan diri dan banyaknya jumlah pasukan musuh. Terlihat kepala-kepala yang mulai terpisah dari badannya.

Allah memberikan bantuan kepada kaum Muslim dengan kekuatan, kepastian dan kemantapan. Hasilnya, kaum Muslim mampu menawan sejumlah orang yang tidak mampu melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka yang ditawan berjumlah 70 orang. Sementara yang terbunuh dari Quraisy berjumlah 72 orang.
 
Disebutkan dalam riwayat bahwa di antara kaum Muslim yang paling banyak membunuh musuh adalah Ali bin Abi Thalib. Ia sendiri berhasil membunuh sekurang kurangnya 16 orang dan ikut serta bersama yang lain membunuh 28 orang lainnya. Tampaknya, kebanyakan mereka yang dibunuh oleh Ali terhitung para pahlawan dan tokoh Quraisy.
 
Diriwayatkan, ada seorang dari Bani Kinanah menemui Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bertanya padanya,
"Apakah kamu ikut dalam perang Badar?"
" Ya", jawabnya.
"Bila demikian, ceritakan padaku apa yang kau saksikan dalam perang Badar!" pinta Muawiyah.
Ia kemudian bercerita, 
"Kami berada di medan perang namun sepertinya tidak sepenuhnya berada di sana. Pada awalnya, kami tidak yakin akan dapat memenangkan peperangan. Yang ada hanya keraguan dapat menang."
 
Muawiyah tidak sabar. Ia kembali meminta untuk diceritakan apa yang disaksikannya sambil berkata, "Gambarkan kepadaku apa yang kau lihat!, " perintah Muawiyah.
Ia memulai ceritanya, 
"Aku melihat Ali bin Abi Thalib sebagai anak muda yang gagah berani, dan sangat kuat. Ia mendobrak pertahanan musuh. Tidak ada yang dapat bertahan di hadapannya kecuali pasti terbunuh. Bila ia memukul sesuatu pasti akan hancur dan mati. Saat itu, aku tidak melihat seseorang yang paling mengorbankan dirinya seperti Ali bin Abi Thalib. Ia menyerang dan maju ke depan. Matanya dengan tajam menyapu bersih musuh yang ada. Ali bagaikan serigala yang siap menerkam mangsanya. Seakanakan ia mempunyai mata lagi di belakang kepalanya. Ia melompat menerkam musuh-musuhnya dengan sangat liar."
 
B. Ali di Perang Uhud
Kaum Quraisy masih belum bisa melupakan kekalahan yang dideritanya dalam perang Badar. Pada perang Badar, banyak tokoh-tokoh Quraisy yang terbunuh. Para pahlawan perang yang dibanggakan oleh mereka pun banyak yang tewas. Mengingat-ingat kekalahan ini memunculkan keinginan yang sangat kuat untuk membalas kekalahanny dan mengembalikan reputasinya di kalangan bangsa Arab
yang hilang setelah kekalahan di perang Badar. Tidak lebih setahun dengan propaganda yang matang, mereka telah mampu mengumpulkan pasukan yang cukup besar. 

Para sekutu Quraisy seperti orang-orang musyrik dan Yahudi turun tangan ikut membantu. Kali ini, semua kebencian bersatu untuk ditumpahkan ke atas pasukan Islam. Mereka sepakat. Kekuatan kebatilan telah bersatu untuk memerangi kebenaran. Pasukan Quraisy dan sekutunya bergerak menuju Madinah dengan kekuatan 3000 pasukan.

Pergerakan mereka menuju Madinah dimulai pada awal awal bulan Syawal tahun ketiga Hijrah.
Pergerakan pasukan Quraisy diketahui oleh Nabi. Rasulullah saw kemudian mengumpulkan kaum Muslim dan bermusyawarah dengan mereka untuk mengambil sikap dan strategi yang tepat. Nabi berpidato di hadapan kaum Muslim mengajak mereka untuk berperang, kesabaran dan kemantapan hati. Nabi memberikan janji bahwa dalam peperangan ini sekali lagi kita akan menjadi pemenangnya
sekaligus mendapat pahala. Kaum Muslim kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluar berperang.
 
Jumlah mereka sekitar 1000 orang pasukan lebih sedikit. Nabi memberikan panji perangnya kepada Ali bin Abi Thalib. Panji-panji lainnya dibagikan kepada tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar. Di sini, muncul sikap munafik dari sebagian pasukan yang pada gilirannya berdampak pada melemahnya kekuatan pasukan Muslim. Di pertengahan jalan, Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya kembali
pulang ke Madinah dan urung untuk ikut berperang.

Jumlah mereka sekitar tiga ratusan orang.Kondisi itu tidak menurunkan semangat Nabi dan yang
lainnya. Mereka tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke Bukit Uhud. Nabi menyiapkan pasukannya untuk bertempur. Ia membuat rencana yang paling tepat dan jitu untuk menghadapi peperangan dan dapat meraih kemenangan. Beliau menyiapkan 50 pasukan pemanah di balik gunung untuk berjaga-jaga jangan sampai ada pasukan yang menyerang dari arah belakang. 

Ia mewanti-wanti mereka untuk tidak meninggalkan posisi ini. Mereka harus tetap di situ sekalipun semua kaum Muslim terbunuh. Kaum Quraisy tiba di Uhud. Pasukan disiapkan untuk berperang. Pasukan Quraisy dibagi menjadi beberapa bagian dan memiliki tugas sendiri-sendiri. Bendera perang
Quraisy diberikan kepada Bani Abdud-Dar. Yang pertama memegang bendera perang itu adalah Thalhah bin Abi Thalhah. Ketika Nabi mengetahui bendera Quraisy di tangan Thalhah, beliau segera mengambilnya dari tangan Ali bin Abi Thalib dan menyerahkannya kepada Mushab bin Umair. Ia juga dari Bani Abdud-Dar. Panji perang itu tetap bersamanya hingga ia terbunuh. Setelah ia terbunuh,
panji dikembalikan kepada Nabi yang kemudian diserahkan kembali kepada Ali. Perang Uhud terjadi di bulan Syawal tahun ketiga Hijrah.
 
Setelah persiapan peperangan telah sempurna, perang dimulai ketika pembawa bendera Quraisy Thalhah bin Abi Thalhah maju sambil membawa bendera. Ia termasuk salah satu jawara dalam medan pertempuran. Ia maju ke depan kaum Muslim sambil berteriak menantang mereka sekaligus memberi semangat pasukannya. Ia berkata,
"Wahai sahabat-sahabat Muhammad! Bukankah kalian beranggapan bahwa Allah dengan pedang kalian dapat memercepat kami memasuki pintu neraka, sementara pedang kami dapat mengantarkan kalian lebih cepat memasuki surga?! Apakah ada di antara kalian yang sudah tidak sabar memasuki pintu surga dengan pedangku ini, atau ada yang ingin membuatku cepat-cepat masuk neraka dengan pedangnya?"

  Ali keluar dari barisan pasukan memenuhi tantangannya. Mereka berdua berdiri di antara pasukan masing-masing, sementara Nabi menyaksikan jalannya perang tanding ini sambil duduk di atas tikar yang disiapkan untuknya. Nabi mengawasi pertempuran sambil mewaspadai dan mengawasi dengan teliti gejolak yang terjadi di sekitar medan pertempuran. Terlihat Ali mengayunkan pedangnya ke arah kaki Thalhah memisahkan kakinya dari badannya. Setelah kakinya terpotong oleh tebasan pedang Ali, Thalhah kemudian terjatuh. Berbarengan dengan jatuhnya Thalhah bendera yang bersamanya pun terjatuh. Ali segera berlari secepatnya ke arah Thalhah. Namun, apa yang terjadi? Thalhah membuka pakaian bagian bawahnya dan memerlihatkan kemaluannya. 

Ia lalu bersumpah atas nama Allah dan kasih-sayang-Nya. Melihat gelagat Thalhah, Ali langsung meninggalkannya. Rasulullah saw kemudian mengucapkan takbir yang kemudian diikuti oleh para
sahabat. Semua bergembira dengan duel yang dimenangka Ali bin Abi Thalib. Melihat Thalhah terjatuh, adiknya, Usman bin Abi Thalhah segera maju ke depan mengambil bendera. Hamzah bin Abdul-Muththalib maju menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Duel belum berhenti, saudara lain mereka yang bernama Abu Saآid segera mengambil bendera Quraisy, namun Ali tidak membiarkannya. Ali maju menyerangnya dan kemudian membunuhnya. Arthah bin Syurahbil
berusaha menyelamatkan bendera Quraisy, namun, lagi-lagi Ali maju menghadangnya dan melakukan duel. 

Ali berhasil membunuhnya. Begitulah seterusnya hingga sembilan orang dari pihak Quraisy yang berniat mengambil bendera dari tangan Bani Abdud-Dar dan Ali dan Hamzah dengan gagah perkasa membunuh kesembilan orang tersebut Orang terakhir dari Bani Abdud-Dar yang memegang bendera Quraisy adalah seorang pemuda yang biasa dipanggil as-Shawab. Ali menyerang dan kemudian membunuhnya. Bendera terjatuh di tengah medan pertempuran. Tidak ada satu pun dari puhak Quraisy yang berani untuk mengambilnya. Orang-orang Quraisy mulai dihinggapi rasa ketakutan.

Semangat berperang pun mulai luntur. Kaum musyrik mulai merasa bahwa mereka akan terbunuh
dan kaum Muslim akan menguasai wanita-wanita mereka. Peperangan pun dimulai namun seakan-akan peperangan akan berpihak pada kemenangan kaum Muslim. Kemenangan yang sudah di depan mata kemudian berubah menjadi sebuah malapetaka yang besar bagi kaum Muslim. Para pasukan pemanah yang disiapkan Nabi di atas bukit untuk menangkal pasukan yang akan datang
dari belakang turun meninggalkan posisi mereka. Mereka turun untuk ikut serta dengan kaum Muslim lain yang tengah memungut harta rampasan. Di atas bukit yang tersisa hanya sepuluh pasukan pemanah.

Khalid bin Walid, komandan pasukan berkuda Quraisy, melihat bahwa bukit telah kosong dari pasukan pemanah. Yang tinggal hanya beberapa orang saja di sana. Ia kemudian mengajak pasukannya menyerang para pasukan pemanah yang masih tinggal dan kemudian membunuh mereka
semuanya. Ikrimah adalah salah seorang yang ikut dalam pasukan Khalid. Setelah berhasil melumpuhkan pasukan pemanah kaum Muslim, kekuatan berbalik menguntungkan Quraisy. Peperangan pun berpihak ke Quraisy. Mereka mampu menekan dan mengobrak-abrik barisan kaum
Muslim. Kenyataan ini laksana sebuah tragedi besar yang pernah dialami kaum Muslim dan sulit untuk dilupakan.

Kaum Muslim terombang-ambing seakan-akan kebenaran mereka telah lenyap. Mundur dan kehancuran setelah kemenangan. Kaum Muslim lari berhamburan tidak karuan. Para sahabat meninggalkan Nabi, menyerahkannya seorang diri kepada musuh. Itu juga setelah Hamzah, paman Nabi, terbunuh bersama Mushab bin Umair. Hanya tertinggal beberapa orang dari Muhajirin dan Anshar yang bersama Nabi. Salah satunya adalah Ali.
 
Pada kondisi yang sangat kritis ini, sejarah menyatat peran penting dan pengorbanan seorang Ali kepada Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib berusaha sekuat tenaga melindungi Nabi. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana Nabi dan Islam bisa selamat. Ia memegang panji perang di satu tangannya dan pedang di tangannya yang lain. Ia berusaha menahan pasukan yang menyerang Nabi sekaligus membubarkan mereka. Ia seorang diri bak sebuah pasukan yang terlatih dan dengan persiapan yang matang. Rasulullah saw setiapkali melihat ada segerombolan pasukan yang hendak menyerangnya, memerintahkan Ali untuk menyerang mereka. 
 
 
 Ali secepat kilat mengarahkan pedangnya kepada mereka dan memorak-porandakan pasukan itu. Ia senantiasa berperang sehingga terlihat bagaimana ia menderita luka-luka yang banyak. 

Darah bercucuran dari wajah, kepala, dada, perut dan keduatangannya.
Pada saat itu, Jibril as turun kepada Nabi dan berujar,

"Apa yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib adalah sebuah keserupaan" 
Rasulullah saw kemudian berkata, "Ia (Ali) dariku dan aku darinya". 

Jibril as kemudian menambahkan, "Dan aku dari kalian berdua". Setalah itu, mereka yang hadir pada waktu itu mendengar suara dari langit yang berkata,
"Tidak ada pedang seperti Zulfikar dan tidak ada seorang pemuda bagaikan Ali".
 
Dengan pengorbanan yang sulit diucapkan, Ali bin Abi Thalib berhasil melindungi keselamatan Nabi. Pengorbanannya membuat kekuatan menjadi seimbang. Tidak ada dari kedua pasukan yang menang secara mutlak. Kondisi-kondisi pasca Perang Uhud Abu Sufyan tidak lagi melanjutkan peperangan. Ia dan pasukannya kembali ke Mekah. Rasulullah saw mengutus Ali dan berkata, "Pergilah, ikuti jejak musuh itu. Perhatikan apa yang dilakukan mereka! Bila mereka masih menuntun kuda namun mengendarai unta, maka mereka pasti menuju Mekah. Namun bila sebaliknya, yaitu mereka mengendarai kuda dan menuntun unta, itu artinya mereka sedang menuju Madinah". 

Setelah melakukan penyisiran jejak maka Ali pun datang menghadap Rasulullah saw dan melapor, آAku keluar menelusuri jejak mereka. Mereka menuntun kuda dan menaiki unta menuju Mekah.
Nabi kembali ke Madinah. Sesampainya di sana, beliau menyerahkan pedangnya kepada putrinya Fathimah seraya berkata, " Putriku, cucilah pedang ini dari darah yang masih melekat!"
Sesampainya Ali bin Abi Thalib, ia menyerahkan pedangnya ke Fathimah. Darah menutupi tangannya hingga bagian pundak. Rasulullah saw berkata kepada Fathimah,
"Wahai Fathimah! Sambutlah Ali. Suamimu telah melakuk apa yang seharusnya dilakukan. Dengan pedang itu, ia telah membunuh para tokoh dan pahlawan Quraisy".
 
Perang Uhud adalah perang yang sangat berat dan kelam bagi kaum Muslim. Perang yang sulit. Namun di samping kesulitan yang dihadapi, dapat disaksikan peran penting Ali bin Abi Thalib yang tidak dapat dipungkiri. Dalam perang Uhud, peran dan posisi Ali menduduki tempat tersendiri yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain dan hal itu dikarenakan beberapa hal:
 
1. Ali adalah yang memegang panji perang Nabi. Panji perang itu tidak pernah jatuh, sekalipun sebagian besar kaum Muslim telah melarikan diri dari medan pertempuran.
 
2. Ali membunuh para pembawa bendera perang kaum musyrik yang mencoba menghadapinya. Ini menunjukkan pengalaman militer dan keberanian yang luar biasa. Akibatnya adalah Ali mampu menggedor dan memorakporandakan barisan musuh sekaligus penyebab kelemahan pasukan musuh di awal peperangan.
 
3. Keteguhan hati Ali untuk tetap berperang di samping Rasulullah saw dan tidak ikut melarikan diri dari medan peperangan setelah sebagian besar sahabat melarikan diri. Ini menunjukkan keimanan absolut Ali pada Nabi untuk memenangkan peperangan yang telah mengkristal dalam
dirinya.

4. Ali adalah pelindung Rasulullah saw dari serangan serangan kaum musyrik yang hendak membunuh Nabi. Ali bak tameng melindungi Nabi agar tidak ada yang dapat maju mendekati beliau. Ini menunjukkan kebesaran cintanya kepada Nabi dan keinginannya yang begitu besar akan keselamatan Nabi.
 
5. Sebagian besar orang Quraisy yang terbunuh jatuh ditangan Ali. Ini sebagai bukti atas tekad aktivitasnya di medan pertempuran, kekuatan dan keberaniannya.
 
6. Moral dan nilai-nilai yang mulia yang dipraktikkan Ali di medan perang ketika meninggalkan Thalhah bin Abi Thalhah yang membuka auratnya karena nilai-nilai kehormatan.
 
7. Ali adalah yang paling dekat dengan Rasulullah saw, yang senantiasa bersamanya sehingga beliau memintanya untuk menghalau para penyerang. Ali juga yang menangkap tangan Nabi ketika terjatuh di salah satu galian perangkap yang sengaja digali oleh Abu Amir Rahib. Ali juga yang membawakan air kepada Nabi yang dipakai untuk mencuci darah dan tanah dari wajah dan kepalanya.
 
8. Ali menderita banyak luka-luka karena usaha kerasnya melindungi Nabi, namun oleh Nabi ia masih juga diutus untuk menelusuri jejak Quraisy yang tidak melanjutkan lagi peperangan dan kembali ke Mekah. Ali harus melakukan itu untuk mengetahui apakah benar mereka kembali ke Mekah atau jangan-jangan hendak ke Madinah. Ini menunjukkan kepercayaan Nabi yang besar kepadanya dan kekuatan serta ketelitiannya. Ali mampu untuk menyikapi kejadian yang terjadi tiba-tiba. Peperangan belum selesai dengan mundurnya pasukan Quraisy.
 
C. Ali bin Abi Thalib di Perang Khandaq
Kaum Quraisy dalam usahanya untuk menghancurkan Islam terlihat lemah. Keadaan ini tampak jelas, akan tetapi kejahiliahan, kebencian dan penegasan untuk tetap berjalan di jalur kekafiran membuat Quraisy untuk yang ke sekian kalinya menyiapkan pasukan untuk sebuah peperangan besar yang sangat menentukan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian dengan kabilah-kabilah
Jahiliah lainnya selain dengan Yahudi. Perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy berhasil mengumpulkan jumlah pasukan sebesar sepuluh ribu. Pasukan ini dipimpin oleh Abu Sufyan. Quraisy menjadi bertambah geram ketika menemui taktik dan siasat perang kaum Muslim berubah. Kali ini, strategi dan pertahanan kaum Muslim berbeda dengan yang sebelumnya. 

Rasulullah saw mencoba taktik bertahan setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Salman Farisi
mengusulkan untuk menggali parit. Quraisy dengan jumlah pasukan sebesar itu membuat mereka lupa dan menganggap kekuatan mereka tidak mungkin terkalahkan. Mereka pasti dapat mengalahkan kaum Muslim dan melenyapkan mereka untuk selamanya dari muka bumi.
 
Sebagian pasukan berkuda dapat melewati parit yang lebih sempit dari tempat yang lain. Pasukan berkuda kemudian berhadap-hadapan dengan kaum Muslim. Ketakutan merasuki kaum Muslim. Ali bin Abi Thalib maju dan keluar dari kelompok pasukan Muslim menutupi jalan pasukan berkuda sehingga kelihatannya mereka kesulitan mengendalikan kudanya, dan barisan mereka agak cekung
ke dalam. Amr bin Abdi Wud menantang kaum Muslim untuk berduel. Tantangannya serta-merta membuat riuh rendahnya suara kaum Muslim menjadi senyap seketika. Kepala kepala tertunduk seakan-akan ada burung yang bertengger di atas kepala mereka. Setiap yang hadir berpikir tentang
dirinya. Seribu pikiran di kepala untuk mengambil keputusan melawan Amr.
 
Rasulullah saw memecah keheningan dengan bertanya kepada sahabat-sahabatnya, 
"Apakah ada yang mau berduel dengan Amr? "
Ali siap untuk berduel dengan Amr dan meminta kepada Rasulullah saw agar ia yang maju melawan
Amr. Nabi menyarankan Ali untuk diam di tempat. Nabi kembali mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Untuk kali kedua dan ketiga, Ali jugalah yang mengacungkan tangan untuk diizinkan berduel dengan Amr. Selain Ali, tidak seorang pun yang menawarkan diri untuk maju berduel dengan Amr. Pada kali kedua dan ketiga itu juga Nabi meminta Ali untuk tidak bergerak dari tempatnya.
 
Pada kali keempat, akhirnya Nabi mengizinkan Ali untuk berduel dengan Amr.
Sebelum maju menghadapi Amr, Nabi memakaikan sorbannya ke kepala Ali dan menyiapkan pedangnya untuk dipakai Ali serta memakaikan Ali pakaian perangnya.
Setelah itu, Nabi mengangkat tangannya ke atas seraya berdoa, „"Ya Allah! Engkau telah mengambil Ubaidah di perang Badar dan Hamzah di perang Uhud. Kali ini yang akan maju adalah Ali bin Abi Thalib, saudaraku dan putra pamanku. Kumohon agar Engkau tidak membiarkanku sendirian. Engkau adalah sebaik-baik Pewaris".
 
Ali bin Abi Thalib maju ke tengah medan tempur untuk berduel setelah Nabi berucap, „Seluruh keimanan tengah berhadapan dengan seluruh kesyirikan. Ali bergerak menuju Amr dengan kepercayaan mutlak akan kemenangan yang memenuhi hatinya. Amr yang tidak menyangka akan berhadapan dengan Ali yang akhirnya membuatnya agak ragu untuk bertarung. Melihat keadaan Amr yang agak bimbang, Ali berkata kepadanya,
"Wahai Amr! Pada masa Jahiliah, engkau pernah berkata bahwa siapasaja yang meminta tiga hal padamu pasti akan kau kabulkan setidak-tidaknya satu dari permintaan".
"Benarkah apa yang kau katakan itu", jawab Amr.
Ali kemudian menyambung, "Aku mengajakmu untuk bersaksi bahwa tidak tuhan kecuali Allah. Muhammad adalah utusan Allah. Serahkanlah dirimu menjadi Islam di hadapan Tuhan pengatur alam". 
Amr menjawab, "Jangan kau tawarkan yang seperti ini. Biarkan ini menjadi tawaran yang terakhir". "Apa yang kutawarkan padamu adalah yang terbaik bagimu bila engkau menerimanya", tambah Ali.
Amr geram dan berkata, "Kembalilah engkau ke tempat asalmu! Engkau tidak boleh sama sekali berbicara seperti itu kepada wanita-wanita Quraisy apa lagi kepadaku".
Akhirnya Ali menambahkan, "Bila demikian, turunlah dari kudamu dan lawanlah aku!"
 
Mendengar ucapan terakhir Ali, Amr menjadi sangat marah. Ia turun dari kudanya kemudian melukainya. Amr berjalan ke arah Ali dan akhirnya duel pun dimulai.
Amr mengayunkan pedangnya yang ditangkis oleh Ali dengan tamengnya. Setelah itu, dengan cepat dan dengan kekuatan penuh Ali menghantam kepala Amr. Pukulan Ali ini mengenai kepala Amr hingga melukai bahunya dan ia pun terjatuh ke tanah dan darahnya membasahi bumi. Setelah memenangkan duel, Ali kemudian dengan suara lantang mengucapkan suara takbir yang kemudian
diikuti oleh kaum Muslim. Apa yang terjadi di medan pertempuran menjadi jelas dengan jatuhnya Amr. 
Pasukan yang menyertai Amr dengan menyaksikan apa yang terjadi dihinggapi rasa takut yang membuat mereka kemudian lari meninggalkan gelanggang duel. Ali mengejar mereka.
Naufal bin Abdillah terjatuh ke dalam parit. Ali turun ke bawah dan membunuhnya.
Setelah mengetahui apa yang terjadi dalam due itu, pasukan koalisi diliputi rasa heran yang luar biasa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa ada seorang yang menghadapi Amr bin Abdi Wud bahkan sampai membunuhnya. 

Kejadian ini memang membuat mereka tidak ada yang berani untuk berusaha melewati parit dan
menantang duel. Yang dapat dilakukan oleh mereka saat ini adalah tetap di tempat mengepung kota Madinah untuk beberapa waktu sehingga dengan izin Allah mereka kalah. Itu terjadi setelah Rasulullah saw mencoba taktik lain dalam perang kali ini.
 
Di sini ada beberapa poin yang menunjukkan kelebihan kelebihan yang dimiliki Ali bin Abi Thalib dalam perang
Khandaq:
1. Inisiatif Ali melindungi ruang kosong yang dipakai oleh Amr bin Abdi Wud dan teman-temannya setelah melompat melewati parit. Ini menunjukkan kewaspadaan dan cepat mengambil keputusan atas kejadian-kejadian tak terduga di medan pertempuran.
 
2. Duel Ali dengan Amr bin Abdi Wud yang diakhiri dengan kemenangan Ali dan terbunuhnya Amr. Pada awalnya, kaum Muslim ragu untuk melakukan duel dengan Amr yang pada akhirnya tidak satu pun yang berani maju menjawab tantangan Amr. Oleh karenanya, Rasulullah saw memuji apa yang dilakukan oleh Ali dalam duel perang Khandaq dengan ucapannya, „"Duel Ali bin Abi Thalib berhadap-hadapan dengan Amr bin Abdi Wud pada peperangan Khandaq lebih utama dari perbuatan
umatku hingga hari Kiamat"

3. Keberanian dan kekuatan yang luar biasa dari Ali yang terjadi dalam perang Khandaq sangat jelas; di mana Amr bin Abdi Wud dan sebagian pasukannya mampu melewati parit dengan menunggangi kuda sementara Ali seorang diri dengan berjalan kaki.
 
4. Nilai-nilai moral yang didemonstrasikan Ali di berbagai kondisi membuatnya berbeda dengan yang lain. Ali mengapresiasikan Islam dan ajaran Rasulullah saw dengan sempurna. Salah satunya, ia tidak mengambil baju perang Amr yang terkenal sebagai baju perang terbaik yang dimiliki oleh orang-orang Arab.
 
5. Terbunuhnya Amr dan Naufal oleh Ali serta pengejaran yang dilakukan terhadap sebagian pasukan lainnya yang bersama Amr mengembalikan kepercayaan diri kaum Muslim setelah melihat pasukan koalisi yang sangat banyak jumlahnya. Hal itu pula yang menyebabkan kekalahan kaum musyrik setelah diterpa angin yang bertiup kencang dan suhu udara yang sangat dingin serta rasa takut untuk kembali memerangi kaum Muslim.
 
6. Kemuliaan yang diraih oleh Ali sebagaimana ucapan Nabi saw yang menjadi saksi untuk itu dalam duel yang dilakukannya, „Seluruh keimanan tengah berhadapan
dengan seluruh kesyirikan.


D. Ali di Perjanjian Damai Hudaibiah
Setelah kejadian-kejadian yang sangat menyakitka dan pertumpahan darah dalam perang antara Nabi dan kaum Muslim di satu pihak, dan Quraisy dan Yahudi di pihak lain, dakwah Islam telah mampu meletakkan garis garis dakwahnya untuk jangka panjang. Rancanganrancangan mampu menunjukkan eksistensi dan keberadaan kaum Muslim sebagai sebuah kekuatan yang mandiri dan harus diperhitungkan di segala medan. Pada masa-masa itu, perlahan-lahan kaum Muslim mulai merindukan Kaآbah. Kaآbah sebagai arah Kiblat mereka setiapkali melakukan salat. Pada saat yang sama, Nabi berkeinginan untuk melakukan kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah, yaitu melakukan kewajiban haji. Nabi mulai melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan untuk kepergiannya. Salah satu yang harus dilakukannya adalah mengumumkan berkali-kali bahwa
kepergiannya tidak untuk berperang melawan Quraisy atau siapasaja.
 
Kaum Quraisy mendengar rencana Nabi. Mereka sepakat untuk menahan rencana Nabi memasuki Mekah, sekalipun dengan cara memaksa. Akhirnya, diutuslah Khalid bin Walid sebagai pemimpin rombongan tentara berkuda untuk menahan Nabi agar tidak mewujudkan niatnya. Nabi beserta kaum Muslim lainnya telah sampai di tempat bernama Juhfah. Persediaan air telah habis, dan di tempat itu
tidak ditemukan air. Nabi memerintahkan beberapa orang untuk mencari air. Namun mereka tidak dapat menemukan air karena ragu dan takut dari serangan pasukan berkuda.

Pada waktu itu, Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib untuk mengambil air bersama beberapa orang. Orang-orang yang bersama Ali tidak mau melakukannya karena tahu pasti tidak akan menemukan air sebagaimana kelompok pertama kembali dengan tangan kosong. Ali pergi mencari air hingga
tiba di satu tempat bernama Hirar dan menemukan air disana. Ia kembali menemui Nabi dan bersamanya sebuah anak panah. Saat Ali tiba, Nabi langsung mengucapkan takbir dan berdoa untuk kebaikan Ali. Kaum Quraisy menekan dan memaksa Nabi beserta rombongan untuk mengambil jalan lain agar tidak sampai ke Mekah. Seorang dari kabilah Aslam berhasil mengarahkan Nabi dan rombongan dari jalan yang sebenarnya dan melalui jalan-jalan tandus. Akhirnya mereka keluar menuju Tsaniyatul-Murad yang akhirnya tiba di tempat bernama Hudaibiah. 

Beberapa kali Quraisy dengan pimpinan Khalid bin Walid berusaha untuk mencari gara-gara dan
alasan untuk menyerang kaum Muslim. Melihat kenyataan ini, Ali bersama beberapa orang yang kuat berusaha untuk menghindari kontak senjata sekaligus melenyapkan kesempatan Quraisy untuk menyukseskan tujuan-tujuan permusuhan mereka. Quraisy memaksa untuk melakukan negosiasi dengan Nabi setelah mereka melihat bahwa keinginan kaum Muslim tidak dapat dibendung lagi untuk memasuki Mekah. Untuk itu, Quraisy mengirimkan delegasinya; Suhail bin Umar dan Huwaithib dari Bani Abdul-آUzza. Tampaknya, negosiasi ini tidak terbatas hanya pada masalah memasuki kota Mekah pada tahun itu, melainkan ada masalah masalah lain juga yang dibicarakan untuk kepentingan kedua belah pihak.
 
Diriwayatkan bahwa Ali berkata, ,, Pada hari perjanjian Hudaibiah, beberapa orang dari kaum musyrik mendatangi kami dan berkata kepada Rasulullah saw,
"Wahai Muhammad! Banyak orang yang lari dari Mekah dan mengikutimu. Mereka terdiri dari anak-anak, saudara dan kerabat-kerabatmu, sementara mereka tidak mengerti apa itu agama yang engkau bawa. Mereka pergi meninggalkan Mekah hanya karena ingin lari membawa harta benda kami. Kembalikanlah mereka kepada kami!"
Nabi saw menjawab, "Seandainya memang benar apa yang kalian katakan, kami akan memahamkan agama ini kepada mereka". Nabi menambahkan, "Wahai orang-orang Quraisy! Berhentilah! Atau Allah akan mengirimkan seseorang yang akan menebas leher-leher kalian dengan pedangnya. Ingat!
Allah telah menguji hatinya dengan iman". 

Kemudian Nabi saw berkata, "Orang itu adalah penjahit sandal". Nabi pernah memberikan sandalnya kepada Ali untuk dijahit. Setelah dicapai kesepakatan-kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai beberapa butir perjanjian gencatan senjata, Nabi memanggil Ali seraya berkata
kepadanya, „Ali! Tuliskan: Bismilillahir-Rahmanir-Rahim. Suhail segera memotong ucapan Nabi saw, Tentang kata ar-Rahman, demi Allah, aku tidak tahu itu. Lebih baik bila ditulis demikian: Bismika Allahumma. Kaum Muslim serentak berkata, "Kami tidak akan menulis selain kata: Bismillahir-Rahmanir-Rahim". 
Kemudian Nabi memerintahkan Ali untuk menulis: Bismika Allahumma. Lanjutannya, (Perjanjian) ini disepakati oleh Muhammad utusan Allah. Lagi-lagi Suhail menyela, "Bila sejak awal kami meyakini engkau sebagai utusan Allah, niscaya tidak akan kami halang-halangi niat kalian untuk melakukan ziarah ke kota Mekah dan kami tidak pernah berperang dengan kalian. Tulis Muhammad bin Abdillah!

Nabi menegaskan, "Aku adalah utusan Allah sekalipun kalian mendustakanku". Kemudian Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib, "Hapuslah kata utusan Allah!" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Wahai Rasulullah! Tanganku tidak dapat digerakkan untuk menghapus namamu dari kenabian".
Akhirnya, Rasulullah saw mengambil surat perjanjian dan kemudian dengan tangannya sendiri menghapus kata utusan Allah. Kemudian sambil menghadap Ali, Nabi saw berkata, "Ketahuilah wahai Ali! Apa yang terjadi saat ini akan menimpamu suatu saat kelak dan engkau terpaksa melakukan hal itu".


E. Ali di Perang Khaibar
Perjanjian Hudaibiah telah selesai. Nabi menjadi lebih tenang akan kelanjutan dakwah Islam dari rencana-rencana Quraisy dan sebagian kabilah-kabilah Arab sekitar Jazirah Arab yang masih dalam kondisi musyrik. Hal ini dikarenakan poin-poin perjanjian yang disepakati lebih menguntungkan kaum Muslim. Di samping itu, perjanjian Hudaibiah menumbuhkan dan menambahkan kekuatan
kaum Muslim dari sisi kuantitas dan kualitas. Banyak yang kemudian masuk Islam. Orang-orang Arab tahu betul bahwa Quraisy dengan menandatangani perjanjian Hudaibiah berarti kekuatan dan kesombongannya telah hilang. 

Rencana mereka untuk melenyapkan Islam dari muka bumi telah menemui kegagalan. Oleh karenanya, penandatanganan perjanjian artinya penerimaan akan adanya Islam oleh Quraisy. Kekuatan yang masih tertinggal dan mengganggu ketenangan Nabi adalah kelompok yang sering menyebarkan fitnah dalam bentuk kemunafikan dan kelompok-kelompok yang melanggar
perjanjian. Kelompok ini adalah sekelompok orang-orang Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah. Nabi senantiasa mengawasi mereka khawatir melakukan makar-makar dengan bantuan pihak luar. Lebih-lebih dengan melihat bahwa sepanjang sejarah, Yahudi terkenal sebagai kelompok yang suka melanggar perjanjian. Oleh sebab itulah, Nabi bersiap-siap untuk menyerang orang-orang Yahudi dan
benteng-benteng mereka yang kemudian dikenal dengan nama perang Khaibar. Nabi memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan segala keperluan dengan cepat untuk memerangi Yahudi Khaibar. Setelah persiapan selesai, semua keluar dari kota Madinah dan panji perang pun berada di tangan Ali bin Abi Thalib. Semua bergerak cepat dan dengan sungguh-sungguh menuju Khaibar. Nabi dan para
sahabatnya sampai di Khaibar pada malam hari yaitu saat di mana penduduk Khaibar tidak mengetahui kedatangan kaum Muslim. Saat pagi tiba, penduduk Khaibar keluar untuk melakukan aktivitasnya. Ketika melihat pasukan Muslim, secepatnya mereka kembali dan tidak keluar dari
benteng.

Nabi melakukan pengepungan, membuat kondisi mereka semakin terjepit dan membiarkan peperangan antara kedua belah pihak di sekitar benteng-benteng yang ada. Cara ini cukup berhasil menguasai beberapa benteng yang ada. Pengepungan dilanjutkan terhadap benteng-benteng lain yang belum ditaklukkan. Pengepungan ini berlangsung hingga dua puluhan hari. Ada beberapa benteng besar dan kuat yang masih berdiri tegak. Nabi mengirim Abu Bakar dengan memberinya panji perang untuk menaklukkan benteng-benteng itu. Abu Bakar kembali dengan tangan hampa. Ia tidak berhasil melakukan apa-apa.

Keesokan harinya, Nabi mengutus Umar bin Khaththab untuk melakukan tugas yang sama yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Tampaknya nasib Umar bin Khaththab tidak berbeda dengan Abu Bakar. Ia tidak berhasil melakukan apa-apa. Ia kembali dengan tangan kosong, gagal. Ia menyebut sahabat sahabat yang menyertainya sebagai pengecut. Para sahabat tidak berdiam diri, mereka mengatakan hal yang sama bahwa Umar bin Khaththab adalah seorang pengecut. Rasulullah saw telah berusaha menyerahkan panji perang sekaligus komandan pasukan kepada keduanya namun akhirnya gagal juga. Ia mengutus yang lainnya lagi, namun mundur teratur. Akhirnya, Nabi mengumumkan
dengan ucapannya yang terkenal dan mengandung makna yang sangat dalam pada perang kali ini. Dengan suara lantang yang didengar oleh seluruh kaum Muslim yang hadir dalam perang Khaibar,

Nabi saw berkata, „"Besok, aku akan memberikan panji perang kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Ia seorang pejuang yang gigih lagi pantang mundur. Allah akan memenangkan pertempuran ini dengannya. Malaikat Jibril akan berada di samping kanannya dan Mikail berada di sisi kirinya".
Setiap orang yang hadir di perang ini sangat berharap bahwa esok hari dialah yang bakal dipilih oleh Nabi. Umar bin Khaththab sendiri berkata, „"Aku selama ini tidak pernah mengharapkan kedudukan kecuali pada hari ini. Aku sangat berharap esok hari Nabi memberiku panji perang".
 
Keesokan harinya ketika matahari terbit, Nab berdiri dan mengumpulkan para sahabat untuk berbaris
dengan mengisyaratkan panji perangnya. Nabi kemudian memanggil Ali. Dijawab oleh sebagian sahabat, „"Wahai Rasulullah! Matanya sakit. Nabi meminta kepada mereka untuk membawa Ali ke hadapannya". 
Salamah bin Akwa meninggalkan barisan menuju Ali dan kembali sambil menuntun tangan Ali bersama-sama menemui Nabi, sementara Ali menutup kedua matanya. Nabi meletakkan kepala Ali di pangkuannya. Kemudian Nabi membasahi kedua tangannya dengan air ludahnya yang kemudian
diusap ke mata Ali. Seketika itu pula mata Ali sembuh dari sakitnya, seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya.

Setelah menyembuhkan sakit mata Ali, Nabi mengangkat tangannya dan berdoa untuk Ali, „
"Ya Allah! Lindungi Ali dari hawa dingin dan panas".
Nabi memakaikan baju perangnya kepada Ali dan menyisipkan pedangnya „Zulfikar di tengah-tengah baju perangnya. Setelah itu, Nabi memberikannya panji perang dan memerintahkannya untuk segera pergi menuju benteng.
Nabi saw berkata, „"Perintahkan pasukanmu hingga sampa di depan benteng. Sesampainya di sana, ajaklah penghuni benteng untuk memeluk Islam terlebih dahulu. Beritahu apa yang menjadi kewajiban mereka di hadapan Allah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, bila ada seorang saja yang mendapat hidayah dengan ucapanmu, atau ada seorang yang diberi hidayah oleh Allah Swt lewat petunjukmu, itu lebih baik dari sejumlah besar binatang ternak".
Salamah berkata, „"Ali dengan cepat bergerak, sementara kami mengikutinya dari belakang hingga tiba di depan benteng. Ali menancapkan panji perang di atas batu di bawah benteng. Orang-orang Yahudi yang berada di atas benteng segera mengetahui akan kehadiran pasukan Muslim". 

Mereka bertanya kepada Ali, "Siapakah kau?"
"Aku Ali bin Abi Thalib", jawab Ali. Seorang Yahudi berkata kepada teman-temannya, Kalian akan menang sebagaimana kemenangan yang diberikan kepada Musa.
Penghuni benteng keluar. Orang pertama yang keluar bernama Harits saudara Marhab. Harits terkenal akan keberaniannya. Kaum Muslim agak mundur ke belakang. Ali melompat menyambut Harits. Keduanya mulai ber tempur yang pada akhirnya dimenangkan oleh Ali. Ali berhasil membunuh Harits. Orang-orang Yahudi berebut masuk kembali ke dalam benteng dalam ketakutan. Setelah itu,
keluarlah Marhab dengan memakai pakaian perang ber lapis dua, dua buah pedang di tangannya dan memakai dua lapis topi serta bersamanya sebatang anak panah bermata trisula.
 
Keduanya memulai duel. Mereka telah melakukan dua kali pukulan ke arah lawan masing-masing. Ali kemudian menghantamnya dengan pedang. Kain selempang Marhab yang diikat di pahanya diganti dan diikat di kepala. Ali berhasil mengoyak-ngoyak pakaian perang Marhab. Pukulan
Ali berhasil membelah kepala Marhab menjadi dua hingga giginya. 
 
Ketika orang-orang Yahudi menyaksikan apa yang menimpa jawara penunggang kuda terhebat mereka Marhab tumbang tak bernyawa lagi, serentak mereka berlarian masuk kembali ke dalam benteng mereka dengan ketakutan yang besar kemudian menutup pintu benteng. Ali bersegera mendekati pintu benteng dan berusaha untuk membukanya. Pasukannya yang berada di sisi parit
yang melingkari benteng tidak berani lewat bersama Ali. Ali berhasil melepaskan pintu gerbang benteng dan meletakkan di atas parit agar mereka berani menyeberanginya. Setelah menyeberangi dan masuk benteng, kaum Muslim berhasil menaklukkan benteng terkuat Yahudi Khaibar dan berhasil mendapat harta pampasan perang yang banyak.
 
Diriwayatkan bahwa sejumlah orang berusaha untuk menggerakkan pintu, tetapi tidak mampu.
Ibnu Amr berkata, „"Kami sangat terheran-heran, bagai mana Allah membuka benteng Khaibar melalui tangan Ali. Namun kami lebih heran lagi bagaimana ia dapat membombol pintu benteng dari tempatnya dan melemparkannya ke belakang sejauh empat puluh dzira (satu dzira sekitar delapan belas inci-peny.)". 
Sekitar empat puluh orang berusaha susah-payah untuk mengangkatnya namun mereka tidak mampu. Lalu Nabi kemudian memberitahukan tentang hal itu dengan ucapannya, „"Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, ada empat puluh malaikat yang telah menolong Ali".

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib dalam salah satu suratnya kepada Sahl bin Hanif, berkata, "Demi Allah! Aku tidak membobol pintu Khaibar dan melemparkannya ke belakang sejauh empat puluh dzira dengan kekuatan fisik dan tidak karena makanan yang aku makan, melainkan aku dibantu oleh kekuatan Ilahi dan jiwa yang diberi cahaya oleh Pemiliknya yang terang-benderang. Aku dari Ahmad (Muhammad) bak cahaya dari cahaya".

F. Ali dan Penaklukan Kota Mekah
Kondisi yang melingkupi kaum Muslim dan Quraisy lebih tenang. Rasulullah saw berpegang-teguh dengan poin poin perjanjian gencatan senjata. Sementara Quraisy memulai melanggar perjanjian. Mereka beranggapan bahwa setelah perang Mutah, kaum Muslim lebih lemah dari sebelumnya akibat kekalahan yang dideritanya. Quraisy menganggap remeh kaum Muslim. Hal itu diwujudkan dengan mencoba menyerang koalisi Nabi dari Bani Khuzaah. Ia mengajak koalisinya seperti Bani Bakar untuk menyerang Bani Khuzaah. Terjadi pertempuran kecil di antara mereka. Bani Bakar memenangi peperangan dengan bantuan Quraisy. Perbuatan Quraisy dengan membantu Bani Bakar telah melanggar perjanjian Hudaibiah. Artinya, Quraisy kembali mengumumkan peperangan dengan kaum Muslim.

Setelah Nabi dapat memastikan pengkhianatan atas perjanjian, bersiap-siap untuk menyerang Quraisy. Terkait dengan masalah ini, Nabi mengucapkan kalimat yang terkenal, „"Aku tidak akan meraih kemenangan sebelum menolong Bani Khuzaah". 
Nabi mulai mempersiapkan segalanya untuk memerangi Quraisy, dan itu dilakukan dengan diam-diam agar tidak diketahui oleh Quraisy. Akan tetapi, salah seorang sahabat bernama Hathib bin
Abi Baltaah perlahan-lahan dan secara rahasia berusaha menyampaikan kabar tersebut. Ia mengirim surat kepada Quraisy lewat seorang wanita tentang apa yang direncanakan oleh Nabi. Sebelum wanita utusan Hathib keluar dari kota Madinah, wahyu turun kepada Nabi dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hathib. Nabi secepatnya mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair untuk segera
mengejar wanita pembawa surat; bila menemuinya, mereka harus mengambil kembali surat darinya sebelum segalanya terlambat. Dengan cepat, keduanya keluar mengejar wanita tersebut dan menemukannya beberapa mil dari Madinah.

Zubair mendekati wanita itu dan bertanya tentang surat. Wanita utusan mengingkari sambil menangis. Zubair melihat itu menjadi lemah dan tidak memaksanya lebih lanjut. Ia kembali dan mengabari Ali bahwa wanita itu tidak membawa apa-apa. Zubair mengajak Ali pulang dengan membawa kabar yang terjadi.
Ali berkata, „"Rasulullah saw memberitahu kita bahwa wanita itu membawa surat. Engkau berkata bahwa ia tidak membawa apa pun". 
Ali mengeluarkan pedangnya dan berjalan ke arah wanita itu sehingga ia mengeluarkan surat tersebut. Ali kembali kepada Nabi dan menyerahkan surat tersebut. Setelah Nabi menyelesaikan segala persiapan yang dibutuhkan untuk menguasai Mekah, beliau menyerahkan panji perangnya ke tangan Ali bin Abi Thalib dan membagikan panji-panji untuk setiap kabilah satu buah. Setiap pemimpin kabilah memegang satu panji-panji. Nabi dan seluruh sahabat akhirnya menuju Mekah.
Quraisy menyaksikan kekuatan kaum Muslim yang sedemikian besar sehingga merasa tidak dapat lagi bertahan di hadapan mereka. Tidak ada jalan lain kecuali menyerah.

Setiap orang harus masuk ke rumahnya masing-masing untuk menyelamatkan diri sebagaimana pengumuman yang disampaikan Nabi.
Diriwayatkan bahwa Sa’d bin Ubadah yang memegang panji-panji dari kaum Anshar, ketika melewati Abu Sufyan yang tengah berdiri di sebuah lembah yang sempit, jalan menuju kota Mekah, Abu Sufyan bertanya, „"Kabilah mana ini?"
Orang-orang menjawab, "Ini sahabat Nabi dari kaum Anshar. Saآd bin Ubadah adalah pemimpinnya. Ia yang membawa panji-panji Nabi". Ketika berhadap-hadapan, Saآd berkata, "Wahai Abu Sufyan! Hari ini adalah hari pertempuran besar; hari dihalalkan apa yang haram. Hari di mana Allah menghinakan Quraisy. Ketika Rasulullah saw melewati Abu Sufyan dan berhadap-hadapan, Abu
Sufyan memanggil, "Wahai Rasulullah! Apakah engkau memerintahkan untuk membunuh kaummu sendiri? " Sa’d berbicara demikian ketika melewati kami. Ia akan membunuh kami. Dia berkata, "Hari ini adalah pertempuran besar! Aku bersumpah padamu di hadapan Allah tentang kaummu, engkau adalah manusia terbaik, paling penyayang dan yang paling suka menyambung hubungan kekeluargaan".
Nabi saw berkata "Apa yang dikatakan Sa’d tidak benar. Hari ini adalah hari kasih-sayang; hari Allah memuliakan Quraisy, hari Allah memuliakan Ka’bah, dan hari Kaآbah terlindungi (dari segala kebejatan)".
Kemudian Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib kepada Saآd untuk mengambil panji-panji yang berada di tangannya. Ali masuk kota Mekah dengan panji perang Sa’d dan juga panji perang Nabi.
Akhirnya, Nabi memasuki Mekah dengan pasukan besar yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh orang orang Mekah dalam sejarahnya yang panjang. Panji perang Nabi di tangan Ali dan mengumumkan, dari pintupintu Kaآbah, amnesti umum kepada semua orang, tanpa terkecuali.

Ali Naik ke Pundak Rasulullah saw untuk Menghancurkan Berhala. Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, „"Aku berjalan bersama Rasulullah saw untuk menghancurkan patung-patung yang berada di Kaآbah. Nabi saw berkata kepadaku, Duduklah! Lalu aku duduk di sisi Ka’bah. Nabi kemudian menaiki pundakku dan berkata, Sekarang bangunlah dengan membopongku ke atas. Aku pun berdiri dan Nabi berada di atas pundakku. Ketika Nabi melihat bahwa aku kelihatan tidak mampu menahan berat badannya, beliau berkata, Duduklah dan turunkan aku! Aku duduk dan Nabi turun dari pundakku. Nabi kemudian berkata, Ali! Sekarang kau yang naik di atas pundakku. Kemudian aku naik ke atas pundak Nabi. Lalu beliau berdiri dan aku tetap di atas pundaknya. Aku berpikir seandainya aku ingin, pasti tanganku dapat menyentuh langit. Kemudian aku menaiki Ka’bah dan kutemukan patung yang paling besar di atas atapnya. Patung itu terbuat dari tembaga yang dipaku dengan besi. آBongkarlah dari tempatnya! Perintah Nabi. Ketika aku sibuk membongkar patung itu dari tempatnya, Nabi menyemangatiku dengan mengucapkan kata, Tarik, tarik..., hingga akhirnya aku berhasil mencongkelnya. Nabi memerintahkanku untuk menghancurkannya. Aku memukul-mukulinya hingga hancur kemudian turun.

G. Ali di Perang Hunain
Nabi telah berhasil menguasai kota Mekah tanpa terjadi pertumpahan darah. Penduduk Mekah -yang dalam hal ini adalah Quraisy- menyerah kepada Nabi dan pasukannya. Namun, kabilah Hawazin dan Tsaqif berkumpul dan berkonspirasi menyerang Nabi dan pasukannya sebelum mereka diserang. Ketika Nabi mendengar kabar ini, beliau segera menyiapkan pasukan. Jumlah pasukan yang besar
membuat kaum Muslim menganggap remeh pertempuran kali ini, kemudian keluar dari kota Mekah untuk berperang. Jumlah pasukan kaum Muslim pada waktu itu 12.000 orang pasukan.
Ketika semakin mendekati pasukan musuh, Nabi menyusun barisan mereka dan membagi-bagikan panji perang kepada setiap komandan pasukan dan para pimpinan kabilah. Nabi memberikan panji perang kaum Muhajirin kepada Ali bin Abi Thalib. Kabilah Hawazin mempersiapkan taktik perang menunggu sampai pasukan kaum Muslim lengah. Mereka bersembunyi di ceruk-ceruk di lembah Tihamah agar tidak ada tempat lari bagi yang melewati jalan itu.

Saat kaum Muslim tiba di lembah Hunain, sekonyongkonyong mereka diserang oleh pasukan Hawazin dari segala arah. Bani Salim adalah yang paling menderita, karena mereka berada di barisan terdepan. Pasukan Bani Salim kalah dan kocar-kacir, kemudian diikuti oleh pasukan di belakangnya. Allah Swt membiarkan kaum Muslim tanpa pertolongan karena kesombongan mereka sendiri; melihat jumlah pasukan mereka yang sangat besar. Pasukan yang tinggal bersama Nabi hanya sedikit. Mereka dari Bani Hasyim dan Aiman bin Ubaid.
Ali bin Abi Thalib yang masih tinggal melindungi seperti orang kalap membabat pedangnya ke kiri dan ke kanan. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati Nabi. Siapasaja yang maju pasti tewas di tangan Ali. Sikap Nabi yang masih tetap bertahan dan perlindungan Ali membuat sebagian kaum Muslim yang kocar-kacir serasa mendapat dukungan untuk tetap melanjutkan peperangan. Mereka kembali menyusun barisan untuk menyerang balik kabilah Hawazin.
Salah seorang jagoan Hawazin yang biasanya dipanggil Abu Jarwal menuju kaum Muslim sambil membawa bendera perang mereka. Sebagian pasukan Muslim berusaha menyerangnya, tetapi mereka tidak mampu. Lalu Ali maju berduel dengannya. Lagi-lagi, Ali berhasil membunuh lawan duelnya.
Melihat kematian jagoan perangnya, kabilah Hawazin mulai dirundung rasa takut. Sebaliknya, kaum Muslim seperti mendapat tenaga baru malah menjadi bersemangat. Kaum Muslim akhirnya berhasil mengalahkan kabilah Hawazin beserta koalisinya. Selain banyak yang terbunuh, banyak juga yang tertawan. Ali adalah yang terbanyak membunuh musuh. Ia sendiri berhasil membunuh sekitar 40 orang dari pasukan musuh. Peran Ali jugalah yang membuat kaum Muslim akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang sangat sulit ini.

H. Ali di Perang Tabuk
Nabi mendapat kabar bahwa kekaisaran Romawi hendak menyerang kaum Muslim. Mendengar itu, Nabi segera menyiapkan pasukan. Nabi menyiapkan segala strategi jitu terkait dengan kualitas maupun kuantitas. Nabi menyiapkan dirinya sebagai pemimpin terdepan mengingat penting dan kritisnya peperangan kali ini. Akan tetapi, situasi politik dan militer tidak memberikan ketenangan
yang sempurna untuk itu. Di sisi lain, kaum munafik dan mereka yang suka menebar fitnah di tengah kaum Muslim masih ada dan banyak di Madinah. Sangat mungkin mereka akan menggunting dalam lipatan dengan menguasai Madinah atau melakukan tindakan-tindakan makar lainnya. Kondisi yang demikian membuat Nabi harus berpikir keras untuk menyiapkan seseorang di Madinah yang layak, mampu, bijaksana dan benar-benar memahami kondisi ini. Seorang yang betul-betul mampu menjaga akidah Islam sehingga tahu apa yang harus dilakukan bila ada kejadian luar biasa. Akhirnya, Nabi memilih Ali bin Abi Thalib sebagai orang paling pantas menjadi penggantinya di kota Madinah.  
Nabi saw berkata, „"Wahai Ali! Madinah tidak layak dipimpin kecuali oleh aku dan kau".

Saat untuk berangkat telah tiba. Nabi dan pasukan siap menuju medan pertempuran. Kaum munafik merasa sulit dengan ditetapkannya Ali bin Abi Thalib sebagai walikota sementara kota Madinah pusat pemerintahan Islam. Mereka tahu persis bahwa Ali tidak akan membiarkan tangan-tangan yang tamak untuk begitu saja merusak apa yang telah dibangun oleh Nabi. Untuk itu, mereka mulai menyebarkan kabar burung tentang hal ini. Dalam setiap kesempatan, mereka menyampaikan bahwa Nabi tidak akan menugaskan seseorang menjadi walikota sementara di Madinah kecuali ia pasti orang yang tidak disukai oleh Nabi. Mereka berusaha menyebarkan kabar ini di tengah masyarakat tentang Ali sebagaimana Quraisy dahulu pernah melakukannya terhadap Nabi dengan mengatakannya sebagai tukang sihir dan orang kesurupan jin.
Ketika isu-isu ini sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib, ia berusaha bagaimana caranya membongkar konspirasi kaum munafik. Kemudian ia mengambil pedangnya berlari-lari mengejar Nabi untuk ikut dalam rombongan pasukan. Setelah menemui Rasulullah saw, ia berkata, "Wahai Rasulullah! Orang-orang munafik menganggap bahwa engkau meninggalkanku di Madinah karena merasa berat dan sudah tidak menyukaiku lagi". 
Rasulullah saw berkata kepadanya, "Kembalilah ke tempatmu! Madinah hanya layak dipimpin olehku dan kau. Engkau adalah khalifahku dari Ahlulbaitku, di tempat Hijrahku dan di kaumku. Apakah engkau tidak rela, wahai Ali, posisimu di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa? Hanya saja sepeninggalku tidak ada lagi nabi.
Ali pun kembali ke Madinah sementara Rasul saw melanjutkan perjalanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar