Karna (Sanskerta: कर्ण; Karnna)adalah nama raja Angga yang merupakan tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Padahal sesungguhnya, Karna merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa (Yudistira, Bimasena, dan Arjuna). Dalam bagian akhir perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Korawa, di mana ia akhirnya gugur di tangan Arjuna.
Karna merupakan sosok pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks.
Meskipun berada di pihak antagonis, namun ia terkenal sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kesatria. Sifatnya angkuh, sombong, suka membanggakan
diri, namun juga seorang dermawan yang murah hati kepada siapa saja,
terutama fakir miskin dan kaum brahmana. Kesaktiannya yang luar biasa
membuat namanya terkenal sepanjang masa dan disebut dengan penuh
penghormatan.
Kelahiran
Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan mendapat anugerah putra darinya.
Pada keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit. Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena ia sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya
bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Namun
Surya juga membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya lalu
kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.
Dalam asuhan Adirata
Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti
yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia
beri nama Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu
kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru (atau Kerajaan Hastinapura).
Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya. Karena
sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting
dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
Basusena pun diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata, sehingga ia dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih terkenal adalah Radheya,
yang bermakna "anak Radha" (istri Adirata). Meskipun tumbuh dalam
lingkungan keluarga kusir, Radheya justru berkeinginan menjadi seorang
perwira kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang mendidik para Pandawa dan Korawa.
Akan tetapi, Drona menolak menjadikan Radheya sebagai murid karena ia hanya sudi mengajar kaum ksatriya
saja. Radheya yang sudah bertekad bulat memutuskan untuk mencari guru
lain, dan ia pun menyamar menjadi kaum Brahmana agar mendapatkan
pendidikan dari Parasurama. Parasurama adalah guru dari Bhisma dan Guru
Drona, jadi, Karna mendapatkan guru yang lebih baik dari Guru Drona.
Malangnya, Ia ketahuan berbohong lalu ia dikutuk oleh Parasurama agar
ilmu yang diajarkannya tidak berguna lagi untuk Karna.
Dalam bahasa Sanskerta istilah Karna
bermakna "telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna
lahir melalui telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir"
atau "terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena
atau Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.
Menjadi raja Angga
Ketika tiba waktunya, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa dan Korawa di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melaui berbagai tahap pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna (Pandawa nomor tiga) adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah. Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya.
Resi Krepa selaku pendeta istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat. Mendengar permintaan itu, Karna pun tertunduk malu.
Duryodana (Korawa tertua) maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki oleh kaum ksatriya saja. Namun apabila peraturan mengharuskan demikian, Duryodana memiliki jalan keluar. Ia mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga.
Dretarastra yang berhati lemah tidak mampu menolak permintaan putra
kesayangannya itu. Maka pada hari itu juga, Karna pun resmi dinobatkan
menjadi raja Angga.
Adirata muncul menyambut penobatan Karna. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena
(Pandawa nomor dua) mengejeknya sebagai anak kusir sehingga tidak
pantas bertanding melawan Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan.
Sekali lagi Duryodana tampil membela Karna.
Suasana semakin tegang dan memanas. Namun tidak seorang pun yang menyadari kalau Kunti
jatuh pingsan di bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti
langsung mengenalinya sebagai putra sulung yang pernah ia buang dari
pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di tubuh Karna.
Suasana yang menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari.
Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga pertandingan antara
Karna melawan Arjuna pun tertunda. Sejak saat itu dimulailah
persahabatan antara Karna dengan Duryodana, pemimpin para Korawa.
Penolakan Dropadi
Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membuat banyak raja dan pangeran datang untuk melamar, termasuk Duryodana. Dalam hal ini, Drupada (raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara memanah bagi siapa saja yang ingin memperistri putrinya tersebut.
Sayembara tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas
arena, namun tidak boleh melihatnya secara langsung, melainkan melalui
bayangannya yang terpantul di dalam baskom berisi minyak. Akan tetapi,
jangankan membidik boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan
Pancala saja para peserta tidak ada yang sanggup, termasuk Duryodana
yang perkasa sekalipun.
Karna kemudian maju setelah sahabatnya itu mengalami kegagalan.
Dengan penuh rasa hormat, ia berhasil mengangkat busur pusaka mahaberat
itu dan berhasil dengan tepat mengenai sasaran sayembara. Tiba-tiba
Dropadi menyatakan keberatan apabila Karna memenangkan sayembara, karena
dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir.
Karna sakit hati mendengarnya. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita
sombong dan pasti menjadi perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang
mampu memenangkan sayembara sulit tersebut selain dirinya.
Ucapan Karna membuat Drupada
merasa khawatir. Raja Pancala itu pun membuka pendaftaran baru untuk
siapa saja yang ingin menikahi Dropadi, tanpa harus berasal dari
golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut akhirnya berhasil dimenangkan olehnya.
Pembalasan untuk Dropadi
Arjuna kemudian mempersembahkan Dropadi kepada ibunya sebagai oleh-oleh terbaik. Tanpa melihat yang sebenarnya, Kunti langsung memutuskan supaya "oleh-oleh" tersebut dibagi berlima. Akibatnya, kelima Pandawa pun bersama-sama menikahi Dropadi sebagai istri mereka, demi melaksanakan amanat sang ibu.
Beberapa waktu kemudian, para Pandawa berhasil membangun sebuah kerajaan indah bernama Indraprastha yang membuat pihak Korawa merasa iri. Melalui permainan dadu
yang sangat licik, mereka berhasil merebut Indraprastha dari tangan
Pandawa, termasuk kemerdekaan kelima bersaudara itu. Pada puncaknya, Yudistira (Pandawa tertua) dipaksa mempertaruhkan Dropadi demi melanjutkan permainan. Dropadi akhirnya jatuh pula ke tangan Korawa. Duryodana kemudian menyuruh Dursasana untuk menyeret Dropadi dari kamarnya. Dropadi pun dijambak dan diseret oleh Korawa nomor dua itu menuju ruang permainan.
Karna yang masih menyimpan sakit hati kepada Dropadi mengumumkan
bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas disebut sebagai
istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna
bersumpah kelak akan membunuhnya. Duryodana pun memerintahkan Dursasana
agar menelanjangi Dropadi di depan umum. Namun, berkat pertolongan
rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.
Kutukan para brahmana
Karna pernah berguru kepada Parasurama yang juga pernah mengajar Drona. Brahmana gagah berumur panjang tersebut memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum ksatriya. Untuk itu, Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar bisa mendekatinya. Dengan cara tersebut Karna berhasil menjadi murid Parasurama.
Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga
menggigit paha Karna. Demi menjaga agar Parasurama tidak terbangun,
Karna membiarkan pahanya terluka sedangkan dirinya tidak bergerak
sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat
Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah
menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan brahmana,
melainkan seorang ksatriya asli.
Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat
pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna
akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan
menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan.
Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan
terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang
paling hebat.
Pusaka Vasavi shakti atau Konta
Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna lahir melalui anugerah Dewa Indra.
Menyadari kesaktian Karna, Indra merasa cemas kalau Arjuna kelak sampai
kalah jika bertanding melawan putra Surya itu. Maka, Indra pun
merencanakan merebut baju pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang
pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut, Karna tidak
mempan terhadap senjata jenis apa pun.
Rencana Indra terdengar oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna. Namun
Karna sama sekali tidak risau. Ia telah bersumpah akan hidup sebagai
seorang dermawan sehingga apa pun yang diminta oleh orang lain pasti
akan dikabulkannya.
Indra yang menyamar sebagai seorang resi
tua datang menemui Karna saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah
berupa baju perang dan anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun
mengiris semua pakaian pusaka yang melekat di kulitnya sejak bayi
tersebut menggunakan pisau. Indra terharu menerimanya. Ia pun membuka
samaran dan memberikan pusaka Indrastra baru berupa Vasavi shakti atau Konta
(yang bermakna "tombak") sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun,
pusaka Konta hanya bisa digunakan sekali saja, setelah itu ia akan
musnah.
Terbukanya jati diri
Setelah masa hukuman atas kekalahan dalam permainan dadu berakhir, para Pandawa pun muncul kembali untuk mendapatkan hak mereka atas Kerajaan Indraprastha. Pihak Korawa menolak dan memaksa Pandawa merebutnya dengan jalan perang. Pandawa pun mengirim Kresna sebagai duta menuju Hastinapura.
Dalam kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara
empat mata. Ia menjelaskan bahwa Karna dan para Pandawa sebenarnya
adalah saudara seibu. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, tentu Yudistira akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap. Ia menghadapi
dilema yang sangat besar. Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap
pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana
yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat
dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah
setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
Setelah pertemuan dengan Kresna, esok harinya Karna bertemu dengan Kunti.
Kunti menemui putra sulungnya itu saat bersembahyang di tepi sungai. Ia
merayu Karna supaya mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan
para Pandawa.
Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti
yang dulu membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan
adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan pihak
Pandawa dan tetap menganggap Radha
sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur
kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang kelak, ia tidak akan
membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.
Perselisihan dengan Bisma
Perang besar antara kedua pihak tersebut akhirnya meletus. Pihak Korawa memilih Bisma (bangsawan senior Hastinapura)
sebagai panglima mereka. Terjadi pertengkaran di mana Bisma menolak
Karna berada di dalam pasukannya, dengan alasan Karna terlalu sombong
dan suka meremehkan kekuatan Pandawa. Sebaliknya, Karna pun bersumpah tidak sudi ikut berperang apabila pasukan Korawa masih dipimpin oleh Bisma.
Bisma akhirnya roboh pada pertempuran hari kesepuluh. Tokoh tua itu
terbaring di atas ratusan panah yang menembus tubuhnya. Karna muncul
melupakan semua dendam untuk menyampaikan rasa prihatin. Bisma mengaku
bahwa ia hanya pura-pura mengusir Karna supaya tidak bertempur melawan
Pandawa. Bisma mengetahui jati diri Karna sebagai kakak para Pandawa
setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Seperti halnya Kresna dan Kunti, Bisma juga menyarankan supaya Karna bergabung dengan para Pandawa. Namun sekali lagi Karna menolak saran tersebut.
Pertempuran melawan Gatotkaca
Kehadiran Karna sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat pihak Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona
sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru sebagian
besar sekutu Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara
para pendukung Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Karna tampil dalam perang besar tersebut sebagai pendamping Drona.
Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi tanpa dihentikan sehingga
melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah
saat menghadapi Gatotkaca putra Bimasena.
Ia pun mendesak Karna supaya menggunakan pusaka Vasavi shakti atau
Konta untuk membunuh Gatotkaca. Karena terus didesak, Karna pun
melepaskan Konta dan menewaskan Gatotkaca.
Sesuai janji Indra, Shakti Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan. Kresna selaku penasihat pihak Pandawa merasa senang karena dengan demikian, nyawa Arjuna bisa terselamatkan. Ia mengetahui kalau selama ini Karna mempersiapkan Shakti Konta untuk membunuh Arjuna.
Menjadi panglima pasukan Korawa
Setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryodana menunjuk Karna sebagai panglima yang baru. Karna maju perang dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan harapan bisa mengimbangi Arjuna yang dikusiri Kresna.
Salya sendiri sakit hati karena merasa direndahkan oleh Karna. Sambil
mengemudikan kereta ia gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk
menakut-nakuti Karna.
Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti
dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling
berusaha membunuh satu sama lain. Ketika Karna mengincar leher Arjuna
menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada
Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah pusaka tersebut
meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran tersebut akhirnya
tertunda oleh terbenamnya matahari.
Pertempuran terakhir
Pada hari ketujuh belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna
dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama,
kutukan atas diri Karna pun menjadi kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya
menggunakan panah Pasupati,
salah satu roda keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam
setengahnya. Karna tidak peduli, ia pun membaca mantra untuk mengerahkan
kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun, kutukan kedua juga menjadi
kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang pernah ia
pelajari dari Parasurama.
Karna meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia turun untuk
mendorong keretanya agar kembali berjalan normal. Pada saat itulah Kresna
mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini adalah kesempatan
terbaik. Arjuna ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan
berada di bawah. Kresna mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga
berlaku curang karena ikut mengeroyok Abimanyu sampai mati pada hari ketiga belas.
Teringat pada kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun
melepaskan panah Pasupati yang melesat memenggal kepala Karna. Karna pun
tewas seketika.
Kehidupan di surga
Mahabharata bagian akhir, atau Swargarohanikaparwa, mengisahkan perjalanan Yudistira naik ke surga. Di tempat yang serba indah itu ia merasa kecewa karena yang dijumpainya justru arwah para Korawa, bukan adik-adiknya. Ia kemudian diantar para Kingkara untuk menemui keempat Pandawa yang sedang mengalami penyiksaan di neraka.
Di tempat mengerikan itu, ia menjumpai arwah keempat adiknya sedang
disiksa bersama para pahlawan besar lainya, misalnya Karna, Drestadyumna, Abimanyu, Satyaki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, Yudistira memilih berada di neraka daripada harus
kembali ke surga. Tiba-tiba keadaan pun berbalik. Yudistira dan para
pahlawan tersebut kemudian dimasukkan oleh ke dalam surga oleh para dewa
sedangkan para penjahat, yaitu Korawa masuk ke dalam neraka. Rupanya
peyiksaan tersebut hanya bersifat sementara, selain untuk menguji
keteguhan hati Yudistira, juga untuk membersihkan dosa-dosa para
pahlawan semasa hidup di dunia dulu.
Dengan demikian, meskipun sewaktu di dunia Karna hidup bersama para
Korawa, namun ketika berada di akhirat arwahnya berkumpul dengan para
Pandawa.
Versi pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa,
terdapat beberapa perbedaan mengenai kisah hidup Karna dibandingkan
dengan versi aslinya. Menurut versi ini, Karna mengetahui jati dirinya
bukan dari Kresna, melainkan dari Batara Narada.
Dikisahkan bahwa, meskipun Karna mengabdi pada Duryodana, namun ia berani menculik calon istri pemimpin Korawa tersebut yang bernama Surtikanti putri Salya. Keduanya memang terlibat hubungan asmara. Orang yang bisa menangkap Karna tidak lain adalah Arjuna. Pertarungan keduanya kemudian dilerai oleh Narada dengan menceritakan kisah pembuangan Karna sewaktu bayi dulu.
Karna dan Arjuna kemudian bersama-sama menumpas pemberontakan
Kalakarna raja Awangga, seorang bawahan Duryodana. Atas jasanya itu,
Duryodana merelakan Surtikanti menjadi istri Karna, bahkan Karna pun
diangkat sebagai raja Awangga menggantikan Kalakarna. Dari perkawinan itu lahir dua orang putra bernama Warsasena dan Warsakusuma. Adapun versi Mahabharata menyebut nama putra Karna adalah Wresasena, sedangkan nama istrinya adalah Wrusali.
Perbedaan selanjutnya ialah pusaka Konta yang diperoleh Karna bukan anugerah Batara Indra, melainkan dari Batara Guru. Menurut versi ini Senjata Konta disebut dengan nama Kuntawijayadanu,
sebenarnya akan diberikan kepada Arjuna yang saat itu sedang bertapa
mencari pusaka untuk memotong tali pusar keponakannya, yaitu Gatotkaca putra Bimasena. Dengan bantuan Batara Surya, Karna berhasil mengelabui Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk menemui Arjuna.
Surya yang menciptakan suasana remang-remang membuat Narada mengira
Karna adalah Arjuna. Ia pun memberikan Kuntawijaya kepadanya. Setelah
menyadari kekeliruannya, Narada pun pergi dan menemukan Arjuna yang
asli. Arjuna berusaha merebut Kuntawijaya dari tangan Karna. Setelah
melewati pertarungan, Arjuna hanya berhasil merebut sarung pusaka itu
saja. Meskipun demikian, sarung tersebut terbuat dari kayu Mastaba yang
bisa digunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Anehnya, sarung
Kunta kemudian masuk ke dalam perut Gatotkaca menambah kekuatan bayi
tersebut. Kelak, Gatotkaca tewas di tangan Karna. Kuntawijaya musnah
karena masuk ke dalam perut Gatotkaca, sebagai pertanda bersatunya
kembali pusaka dengan sarung pembungkusnya.
Menurut versi Jawa, pusaka pemberian Indra bukan bernama Konta, melainkan bernama Badaltulak. Sama dengan versi aslinya, pusaka ini diperoleh Karna setelah pakaian perangnya diminta oleh Indra.
Karna versi Jawa sudah mengetahui bahwa ia adalah kakak tiri para Pandawa sejak awal, yaitu menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, kedatangan Kresna menemuinya sewaktu menjadi duta ke Hastinapura bukan untuk membuka jati dirinya, namun hanya untuk memintanya agar bergabung dengan Pandawa.
Karna menolak dengan alasan sebagai seorang kesatria, ia harus menepati janji bahwa ia akan selalu setia kepada Duryodana.
Kresna terus mendesak bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama
adalah menumpas angkara murka. Dengan membela Duryodana, berarti Karna
membela angkara murka. Karena terus didesak, Karna terpaksa membuka
rahasia bahwa ia tetap membela Korawa supaya bisa menghasut Duryodana
agar berani berperang melawan Pandawa. Ia yakin bahwa angkara murka di
Hastinapura akan hilang bersama kematian Duryodana, dan yang bisa
membunuhnya hanya para Pandawa. Karna yakin bahwa jika perang meletus,
dirinya pasti ikut menjadi korban. Namun, ia telah bertekad untuk
menyediakan diri sebagai tumbal demi kebahagiaan adik-adiknya, para
Pandawa.
Dalam perang tersebut Karna akhirnya tewas di tangan Arjuna. Namun
versi Jawa tidak berakhir begitu saja. Keris pusaka Karna yang bernama
Kaladite tiba-tiba melesat ke arah leher Arjuna. Arjuna pun menangkisnya
menggunakan keris Kalanadah, peninggalan Gatotkaca. Kedua pusaka itu
pun musnah bersama.
Surtikanti datang ke Kurusetra bersama Adirata.
Melihat suaminya gugur, Surtikanti pun bunuh diri di hadapan Arjuna.
Adirata sedih dan berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik
ayah angkat Karna tersebut sehingga lari ketakutan. Namun malangnya,
Adirata terjatuh dan meninggal seketika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar