Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Kreshna.
Berkatalah Dhristarashtra :
Di dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya.
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. “Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma.” Kata dharma berasal dari kata “Dhru” yang berarti “pegang.” Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.
Dalam ucapan Dhristarashtra yang mengatakan di atas “tanahnya para Kuru” dan juga ‘”putra-putraku,” tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar. inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi dalam hidup ini.
Dan Kshetra berarti padang, ladang atau
medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, “apa
sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku
ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan
menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adharma maka kita
dapat bercermin kepada para Kaurawa.
“Bersiap-siap untuk suatu yudha,” Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kreshna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya. maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
“Bersiap-siap untuk suatu yudha,” Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kreshna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya. maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan
Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir
hayatnya.
Yang dimaksud “murid yang bijaksana” di
sini adalah Dhristadyumna. la adalah putra Raja Drupada dari kerajaan
Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak
Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih merupakan saudara ipar para
Pandawa. Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada,
kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang
disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran
karma.
Di sinilah para pahlawan-pahlawan
besar berkumpul, dari Bima, Arjuna dan yang tak kalah kehebatannya yaitu
Yuyudana, Virata dan Drupada.
Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi.
Bima : Putra kedua dari Pandu. Yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna : Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang paling dikasihi Sang Kreshna.
Yuyudana : Disebut Juga Setyaki. pahlawan yang gagah perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. seorang raja nan arif bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu, putra Arjuna.
Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti, ibunya sang Pandawa,
Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang bertenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeran-pangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan sakti-wirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Kreshna). la dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanannya yang luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.
Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akan menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetapi rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.
Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati,
“Yang teragung diantara yang dilahirkan
dua kali” adalah ungkapan yang ditujukan kepada Resi Drona, karena sang
resi ini adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap
lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia
fana ini, tetapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan
demi Sang Maha Esa, jadi “lahir” lagi dengan meninggalkan semua nafsu
keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.
Pertama-tama Dikau yang mulia Drona, kemudian Bhisma, Karna dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana dan putra Somadatta.
Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan
lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka, bersenjatakan
berbagai senjata-senjata yang sakti, kesemuanya ahli-ahli perang yang
tiada taranya.
• Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk
menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih
“kakek” para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan
raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para
Pandawa, tetapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa
karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya.
Tetapi Bhisma pernah bersumpah dihadapan Duryodana tak akan pernah
membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan
kehebatannya sampai akhir hayatnya.
• Karna: Saudara tiri para Pandawa,
adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Karna diangkat menjadi
raja Anga (sekarang disebut daerah Bengal di India). Sebenarnya Karna
adalah seorang kshatrya maha-sakti yang penuh dengan kasih-sayang kepada
sesamanya, tetapi terikat sumpah setianya kepada Duryodana maka ia
memilih pihak Kaurawa, Setelah matinya Drona, Karna diangkat menjadi
panglima tertinggi Kaurawa tetapi hanya berlangsung dua hari saja,
karena kemudian ia mati di tangan Arjuna, saudara tirinya sendiri.
Beginilah kehendak Dewata.
• Kripa: Saudara ipar resi Drona. Ia adalah diantara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
• Ahsvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
• Vikarna: Putra ketiga raja Dhristarashtra, adik Duryodana.
• Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara Bahikas yang membantu Kaurawa.
Tak terhitung jumlah laskar kita yang
dipimpin oleh Sang Bhisma, sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang
dipimpin oleh Bima, jumlah laskar mereka sangat mudah untuk dihitung.
Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang
lebih banyak dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa mempunyai laskar lebih
banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang
menyebutnya berlipat ganda.
Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.
Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan
Duryodana di atas dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana
yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan
sakti, walaupun jumlah laskar mereka lebih sedikit.
Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakan-akan auman dahsyat seekor singa.
Kemudian dari segala penjuru
tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan
hiruk-pikuklah suasana waktu itu dipenuhi suara-suara ini.
Kemudian, duduk di kereta perang nan
agung, dengan pasangan-pasangan kuda-kuda putih, Sang Kreshna dan Arjuna
masing-masing meniup sangkalala mereka.
Sang Kreshna meniup sangkalalanya
yang bernama Panchjanya, dan Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama
Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak
besar, kekar dan kuat, bernama Paundra,
Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.
• Raja Yudhistira: Yang tertua di antara
Pandawa adalah seorang maha-raja yang berwatak tenang, penuh
kasih-sayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak
pernah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang
negarawan daripada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalala
yang dimilikinya disebut Anantavijaya yang berarti “kemenangan tanpa
akhir” atau juga disebut “suara-kemenangan.”
• Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalalanya bernama Sagosha yang berarti “bersuara indah.”
• Sahadewa (Sadewa): Putra Pandu yang
paling bungsu memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti
“mutiara yang mekar” atau “bunga-bunga mutiara,” karena sangkalala yang
satu ini teramat indahnya, selain bentuknya laksana mutiara ditaburi
pula dengan mutiara-mutiara asli yang indah.
Juga yang ikut meniup sangkalalanya
masing-masing adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah,
kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata
dan Satyaki (Setiaki) yang tak terkalahkan.
Juga Drupada dan putra-putra Draupadi, dan juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan.
Shikandi (Srikandi) di India sering
disebut juga sebagai putra raja (sebenarnya ia seorang banci) Drupada,
di Indonesia ia dikenal sebagai pahlawan wanita, merupakan titisan dewi
Amba yang menuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa
Bhisma dalam perang ini. Satyaki adalah sais kereta perang pribadi Sang
Kreshna.
Suara-suara dahsyat sangkalala-sangkalala ini memenuhi langit dan bumi tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.
Kemudian Arjuna yang di kereta
perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman, memandang ke arah
putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama
kemudian ketika perang akan segera dimulai, Arjuna memungut busur
panahnya.
Dan berkata Arjuna kepada Sang Kreshna: Ingin kulihat semua yang ada di medan ini, mereka yang telah
bersiap-siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga.
Ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini, yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati iblis itu.
Berkatalah Sanjaya : Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang Kreshna pun mengarahkan kereta perangnya, kereta yang terbaik di antara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.
Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar lainnya.
Berkatalah Kreshna : Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).
Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya, para sesepuh (kakek-kakek),
guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para cucu, misan
dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.
Juga terlihat ayah-mertuanya dan para
teman yang terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran
sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.
Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu.
Berkatalah Arjuna : Melihat jajaran keluargaku ini, oh Kreshna, bersiap-siap untuk berperang.
Berkatalah Arjuna : Melihat jajaran keluargaku ini, oh Kreshna, bersiap-siap untuk berperang.
Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.
Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kulitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa berputar-putar.
Dan kulihat pertanda iblis, oh Kreshna! Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.
Tak kuinginkan kemenangan, oh Kreshna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami, oh Kreshna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini ?
Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga.
Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya.
Aku tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh, oh Kreshna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini ?
Setelah membantai putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki, wahai Kreshna? Setelah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa ini.
Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Kreshna, mana mungkin kita ‘kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?
Arjuna adalah seorang pahlawan besar,
tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu
keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi
tiba-tiba ia tak sampai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri,
walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu
untuk maju, gundahlah Arjuna dalam “ke akuan” nya. Bukankah kita manusia
ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil
suatu keputusan yang maha-penting ? Bukankah rasa iba sering kali
membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran
itu sendiri’1 Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga,
harta-benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari
adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.
Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: “Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka ia tidak akan menjadi muridKu.” Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan “semua miliknya,” kalau sudah memilih jalanNya.
Ini bukan berarti Sang Kreshna mengecam “rasa-iba” atau perasaan “simpati” atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenarnya adalah sifat seorang yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan rasa “welas-asih,” dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki “sinar pengetahuan Ilahi,” dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma.
Di atas, untuk sejenak Arjuna rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. la lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Kreshna menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).
Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah “bunuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu.” Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan “berperanglah terhadap iblis tanpa henti-hentinya,” Sang Buddha berperang dengan Sang Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.
38. Dengan hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan atas teman-teman dan para sahabat.
39. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Kreshna – bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?
Arjuna masih menilai bahwa sesuatu
kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi
sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma
harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa, dan apapun yang diberikanNya
sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita
menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu
harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan
persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh dengan tanggung-jawab
yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak unsur-unsur duniawi yang
banyak terdapat disekitar kita, yang kalau dihitung seakan-akan tiada
habisnya.
40. Dengan hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.
41. Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Kreshna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Kreshna akan terjadi percampuran dalam sistim kasta.
Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran
dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama
tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta
yang mereka pegang teguh.
Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu sebenarnya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita, juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.
Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang berbentuk bulatan terbuat dari beras).
Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini
akhirnya malah merusak nilai-nilai tradisi lama dan agama mereka,
sehingga arwah para leluhur pun ikut makan getahnya dengan tidak
mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen
ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam
keluarga mereka sudah tidak setia lagi kepada leluhur mereka tentu akan
timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk
para leluhur disebut shraddha.
Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini, terciptalah kekacauan dalam sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini.
Dan kami dengar, wahai Kreshna, bahwa barang siapa kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.
Aduh, Betapa besarnya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.
Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.
Berkatalah Sanjaya : Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.
Berkatalah Sanjaya : Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.
Arjuna sebenamya adalah seorang kshatrya
yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. la
sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri
secara total), tetapi hal ini dilakukannya karena keterikatannya kepada
sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa.
Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta.
Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas “miliknya,” ia masih mencintai semua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya, tidak ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).
Sang Kreshna maklum Arjuna sedang
mengalami depresi mental yang sangat berat, Beliau pun memulai
ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi
penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh
dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta
untuk kita semua.
Inti ajaran Bhagavat Gita adalah,
pembinaan mental diri kita sendiri secara batin. Gita mengingatkan dan
sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri
haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan
ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah
hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Kreshna dalam Bhagavat
Gita adalah “berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan.”
Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih. Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, bab yang
pertama ini disebut sebagai Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya
Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang
disebut juga Arjuna Vishada Yoga atau Yoga Sang Arjuna dalam
Kedukaannya.
Bab pertama disebut “Vishada Yoga.”
Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berarti bagian atau
bab. Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau
ditelaah secara mendalam, maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak
tangga pertama menuju ke kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap
manusia harus mengalaminya setelah tersandung dalam berbagai aspek
kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu
kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti
secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap depresi ini
kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak dalam
kedukaan yang amat dalam:
“Apakah arti kehidupan ini?”, “Apakah arti semuanya ini?”, ” Mengapa kita harus dilahirkan?”, “Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti?” Dan sering sekali kita mengucapkan, “Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?”, ” Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?” dan “Oh Tuhan Dikau tak adil pada ku?” dan lain sebagainya, sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita.
Setiap manusia kemudian harus masuk ke
dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu
bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini
setelah membunuh atau menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang
berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa
ia tidak berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan
menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang
kepadanya.
la (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam
setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan
kepercayaan masing-masing individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang
Kreshna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan
kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, seseorang melalui
jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna
dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun,
seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:
Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar