"Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib"
Demikianlah slogan
yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud
yang amat dahsyat itu tengah berlangsung. Dalam perang tersebut, Ali bin
Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan islam
yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang
mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju
besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan
tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,"Mengapa baju besimu itu
tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?" Maka Ali bin Abu
Thalib akan menjawabnya dengan mudah,"Kalau seandainya aku menghadapi
musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa."
Ketika
terjadi perang Badar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy, di
mana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang
berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon
sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar
itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Sementara
itu Amru bin Wud Al 'Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir
Quraisy ikut serta dalam perang Khandak. Dengan angkuhnya ia
menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum
muslimin seraya berkata,"Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah
dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan masuk
kedalamnya? inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka
sambutlah."
Namun nyatanya tak ada
seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan
yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak
lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada
Rasulullah," Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju
untuk bertarung melawannya" Rasulullah menjawab,"Hai Ali, Bukankah dia
itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?" Ali bin Abu
Thalib pun menjawab,"Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin wud, akan
tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?" Akhirnya Rasulullah
mengijinkan untuk bertarung melawannya.
Selang
beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang
pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya
seraya memandang remeh kepadanya,"Siapakah kamu hai anak muda?", "Aku
adalah Ali." Amru bin Wud bertanya lagi,"Kamu anak Abdul Manaf?",
"Bukan, Aku anak Abu Thalib." Lalu Amru bin Wud berkata,"Kamu jangan
maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya
menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan
darahmu." Ali bin Abu Thalib menjawab,"Jangan sombong dulu hai Amru!
Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa
detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkan-mu ke liang
kubur."
Betapa marahnya Amru bin Wud
mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan
dihunus-nya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara
itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.
Tiba-tiba
Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun
menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari
kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka
secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada
tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum
kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.
Pada suatu ketika Rasulullah mengutus pasukan kaum muslim ke Wilayah Khaibar di bawah pimpinan Abu Bakar As Siddiq.
Lalu pasukan tersebut berangkat untuk menembus benteng pertahanan
Khaibar. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha
membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh
sehingga sukar untuk ditembus-nya.
Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk
memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat
yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara
dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak
buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum
membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun
pulang dengan tangan hampa.
Setelah
itu Rasulullah SAW bersabda,"Esok hari aku akan berikan bendera ini
kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan
mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin
melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang
pengecut."
Maka para sahabat
bertanya-tanya "Siapakah laki-laki yang beruntung itu?" Akhirnya setiap
orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah
yang di maksud oleh Rasulullah.
Dan
keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan
itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata.
Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit
hingga sembuh seraya berkata,"Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan
bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga
Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin."
Lalu
Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada
sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali.
Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke
benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin
dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib
memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada
musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari
kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi
tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di
tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu.
Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Abu
Rofi' seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,"Aku telah
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib
mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah
tameng-nya terjatuh dari tangannya." Kemudian setelah perang usai, ada
delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri,
yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke
tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena
terlalu berat."
Tentang Ali Bin Abu Thalib
Ali
bin Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin
Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah, Fathimah binti Asad, bin Hasyim,
bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail,
Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan
demikian, jelaslah, Ali bin Abu Thalib adalah berdarah Hasyimi dari
kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang
dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim
terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang
kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang
kemudian menamakannya Haidarah.
Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali bin Abu Thalib, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah (Ibu Ali bin Abu Thalib) meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju gamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda,
Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali bin Abu Thalib, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah (Ibu Ali bin Abu Thalib) meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju gamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda,
"Semoga
Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau
adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah
ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu."
Dan
karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya
yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir
nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al
Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah
adalah nama lain Imam Ali bin Abu Thalib yang dipilihkan oleh ibunya.
Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua
nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.
Sifat Ali Bin Abu Thalib
Ali
Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya
tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan
ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam
dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya.
Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng
Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau.
Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al
Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia
dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Ali
bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi
dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya
berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu
jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala.
Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya
tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja.
Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti
berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul
Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata
besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat,
bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur,
dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika
ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju
tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan
pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah.
Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia
bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk
kemudian membuat mangsa tak berkutik.
Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.
Keberaniannya
menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia
menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan
mengalahkannya.
Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.
Seorang
yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup
dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan
lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh
di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.
Penuh
hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun
dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan
dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia
meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama
dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian
butiran-butiran air di lautan.
Ia
bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia
sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat
kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang
kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna
berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah
'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku,
gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para
tokoh pemikir dalam sejarah.
Ia
terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai
sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa
maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits
Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya.
Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.
Ia
amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat
baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama,
Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan
indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.
Ali
Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya
terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap.
Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya
bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan
menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga
yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan
apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan
adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.
Istri-istri Ali bin Abu Thalib
Setelah
Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin
Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin
bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti
Mas'ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa
binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja'far bin Abi Thalib,
dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan
berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib
ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al
Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah
bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.
Menjadi Khalifah
Ketika Ali bin Abu Thalib di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan,
maka ia tidak pernah melakukan kecurangan ataupun penyelewengan dalam
pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi ataupun memakan uang
rakyat yang terdapat di "baitul maal." Namun Ia lebih memilih untuk
bekerja sendiri ataupun menjual harta benda miliknya sendiri untuk
mencukupi kehidupannya sehari-hari.
Bahkan
diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar untuk menawarkan pedangnya
kepada orang-orang yang berada di sana sambil berkata,"Adakah di antara
kalian yang akan membeli pedangku ini, karena hari ini aku sedang tidak
mempunyai uang?" Kemudian orang-orang balik bertanya kepadanya,"Bukankah
anda seorang Khalifah yang mempunyai uang banyak ya Amirul Mukminin?"
Lalu Ali pun menjawab,"Kalau seandainya aku mempunyai uang empat dirham
saja, tentu aku tidak akan menjual pedang kesayanganku ini."
Pernah
suatu ketika Ali bin Abu Thalib tengah menangis di mihrab Masjid Nabawi
seraya berkata,"Wahai dunia, janganlah engkau berupaya memperdayai-ku
Tetapi perdaya-lah orang-orang selain-ku. Sungguh aku telah
menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!"
Akhirnya
lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-NYA ini gugur sebagai syahid di
dekat pintu masjid Kufah pada 17 Ramadhan 40 H, akibat di tikam dengan
pedang beracun di bagian kening oleh Abdurrahman bin Muljam, ketika ia
akan melaksanakan salat subuh berjamaah dengan kaum muslimin.
Bagaimanapun
sejarah telah mencatat Bahwa Sayyidina Ali Bin Abu Thalib KW adalah
seorang laki-laki yang gagah berani, tangkas cerdas, dan dicintai Allah
dan Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar